top of page

CAHAYA YANG MENYERUAK DARI RUMPUN ILALANG

Catatan Kecil

SONI FARID MAULANA

 

 

Diterbitkannya antologi puisi sonian yang diberi judul Hari Barumerupakan angin segar bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia kini. Selain itu, apa yang ditulis oleh sejumlah pelajar dari SMP Daya Susila Garut, menunjukkan bakat yang kuat sebagai penulis puisi. Tak mustahil di masa mendatang, masing-masing dari penulis puisi sonian ini akan menjadi penyair yang malang melintang di jagat perpuisian Indonesia.Sebelum masuk kedalam pembicaraan lebih jauh tentang sejumlah karya yang ditulis oleh para pelajar tingkat SMP ini, ada baiknya terlebih dahulusaya bicara apa itu puisi sonian, yang akhir-akhir ini tumbuh dan berkembang dengan pesatmya di media sosial facebook.Baik lewat laman sonian, exclusive sonians, sonian temasik, maupun sonian pelajar.Sejumlah puisi yang saya bicarakan di bawah ini seperti cahaya, yang menyeruak dari rumpun ilalang. Berkaitan dengan itu,tumbuh dan berkembangnya puisidi Indonesia dewasa ini,  tidak lepas dari persentuhannya dengan puisi yang tumbuh dan berkembang di berbagai negara, baik yang ada di Timur maupun di Barat. Di Indonesia sendiri, tentu saja ada puisi puisi tradisional. Dalam sastra Indonesia tradisional. puisi yang demikian itu antara lain diberi nama pantun, talibun, gurindam dan berbagai jenis puisi tradisional lainnya.

 

Puisi tradisional yang saya sebutkan tadi punya pola tuang tertentu dalam penulisannya. Demikian juga dalam puisi tradisional Sunda,  ada yang disebut guguritan atau dangding.  Masing-masing dari puisi tradisional Sunda ini – sebagaimana puisi tradisional  yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, terikat oleh bilangan suku kata tertentu dengan  guru lagu, dan tema tertentu pula, yang satu sama lainnya berbeda. Misal dangdingasmarandana berbeda dengan dangding kinanti. Perbedaan tersebut bukan hanya pada tema, tetapi juga pada jumlah suku kata perlarik yang ditulis oleh para penyairnya.Dangding asmarandana yang isinya mengungkap cinta kasih, atau persoalan-persoalan asmara,  ditulis dalam  7 larik. Masing-masing terdiri larik terdiri dari 8-i, 8-a, 8-e atau o, 8-a, 7-a, 8-u, dan 8-a suku kata. Sedangkan danding kinanti, terdiri dari 6 larik. Masing-masing larik terdiri dari 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, dan 8-i suku kata. Isi dari larik tersebut biasanya menggambarkan rasa khawatir, penantian,  dan rasa sayang. Berkaitan dengan itu, puisi sonian tidak ditulis dari tradisi semacam itu, walau dalam penulisannya punya pola tuang dengan suku kata tertentu pula. Puisi sonianadalah puisi sepanjang empat baris yang saya kreasi dengan pola 6-5-4-3 suku kata perlarik. Semakin ke bawah seorang penyair menulis sonian, maka puisi tersebut semakin sulit ditulis, karena kata-kata yang dibutuhkan semakin sedikit jumlahnya. Hal ini dimaksudkan, agar puisi yang ditulis dalam bentuk ini: -- tidak pecah, melainkan kian fokus pada pengalaman batin macam apa yang ingin diekpresikan oleh para penyairnya. Jika diibaratkan dengan mata panah yang terbalik, maka jelas sudah, bahwa bahwapolatuangpuisi soniankian bawah kian runcing adanya. Walau demikian, meski nyaris sama pendeknya dengan haiku,sonian bukan haiku yang ditulis dengan pola 5-7-5 suku kata perlarik.

 

Haiku yang kinimenyebarkeberbagaibelahandunia,dikreasi oleh penyair Jepang kenamaan pada zamannya, antara lain ditulis oleh penyair Bāsho. Sehubungan dengan itu,  sonian bukan jenis puisi yang meluap-luap mengumbar emosi. Sonian adalah puisi yang menahan dan mengelola emosi dalam bentukungkap yang ringkas, yang ingin menjangkau makna seluas mungkin. Dalam daya ungkap yang ditulis para penyairnya, sonian bisa imajis dan bahkan simbolis. Hal itu sangat bergantung kepada kemampuan para penyairnya dalam menulis puisi. Untuk mewujudkan  pengalaman batin  macam apa, yang ingin diekspresikan oleh para penyair dalam menulis sonian, maka hal itu menuntut para penyair  untuk peka terhadap setiap makna kata yang hendak ditulisnya,sehingga apa yang ingin diungkapnya itu  bisa terwujud dengan jelas. Dengan demikian maka jelas sudah bahwa kejelian dalam memilih setiap kata (diksi)  yang hendak dipakai sebagai kendaraan utama dalam menulis sonian sangat dibutuhkan.Apa sebab?  Karena yang disebut semua itu merupakan mekanisme psikis,  dalam melihat,melukis, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu dalam struktur kesadaran yang menghasilkan sebuah citra (image) pada otak.  Simbol dan metafor pada sisi tertentu lahir dari kondisi batin semacam itu.

 

Ditulisnya puisi dengan pola tuang 6-5-4-3 suku kata perlarik, yang saya sebut sonian itu dimaksudkan antara lain untuk meninggikan harkat dan derajat manusia, dan malah bukan untuk merendahkannya dengan mengangkat tema porno, cawokah, dan cabul. Untuk itu, sonian bisa diisi dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai agama yang dianut oleh para penyair di negeri mana pun. Selain itu, tentu saja bisa juga diisi dengan nilai-nilai budaya setempat,  dan nilai-nilai lainnya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan religiositas, yang berbasis pada agama, dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Renungan terhadap alam, dan sebagainya, yang tidak bertentangan dengan hukum mana pun yang berlaku di muka bumi, bisa ditulis dalam sonian. Dengan demikian maka jelas, sonian sangat berpihak kepada etika, moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai religious, termasuk persoalan-persoalan hukum di dalamnya. Paling tidak, demikian dasar-dasar penulisan sonian dituliskan.  Ini tidak berarti bahwa puisi di luar sonian, tidak mengangkat hal yang demikian. Yang membedakan hanya pada  pola tuang, yakni berbilang suku kata dan bebas dari itu.

 

 

Lalu mengapa saya menulis puisi sonian? Ini terjadi karena saya ingin di negeri ini punya puisi pendek sejenis haiku. Namun demikian kembali saya tegaskan bahwa sonian bukan haiku. Karena itu tak ada kigo dan kireji di dalamnya. Jika pada masa awal pertumbuhannya haiku berbasis pada Zen Budhisme, maka sonian berbasis pada nilai-nilai Islami. Dalam berkembangan lebih lanjut, bisa berbasis pada agama apa saja, nilai budaya apa saja. Toh dalam penulisan haiku yang kini kian bebas itu, ia bisa juga diisi oleh nilai-nilai Islami, dengan nilai-nilai budaya setempat. Lalu kenapa diberi nama sonian, karena saya sukar cari nama. Saya saat itu, saya ingat Aristotelian. Itu alasannya.

 

**

 

HARI BARU menarik untuk dibaca, sebab menyajikan tema yang beragam. Mulai dari tema religius, alam, kesadaran akan lingkungan hidup dan cinta dalam pengertian yang seluas-luasnya. Bagi saya terbitnya antologi ini cukup mengejutkan, sebab tidak saya duga bahwa sonian digemari oleh anak-anak pelajar. Ini dimungkinkan berkat kegigihan  Kang David Darmawan Siswandi dan Ceu Ade Saskia Darmawan yang gigih menggelar workshop penulisan puisi di berbagai sekolah dan komunitas di Garut.

 

Sejumlah sonian yang Anda baca dalam antologi ini merupakan hasil workshop, yang layak untuk dicermati dan diapresiasi. Anak-anak pelajar ini masing-masing menunjukkan kemampuannya dalam menulis sonian, yang sesungguhnya bila dipikir lebih lanjut menulis sonian itu sesungguhnya sulit. Apa sebab? Titik fokus dalam menulis puisi tersebut ada dua baris terakhir, yang kian sempit pemilihan kosa katanya. Jika tidak fokus, maka sonian akan buyar, dan tidak berdampak apa-apa bagi para apresiatornya.

 

Dalam membaca sonian di bawah ini, saya percaya kepada Paul Ricour yang berkata bahwa puisi di tangan para apresiatornya bersifat otonom. Dan karena itu bisa ditasir dari sisi mana saja – sesuai dengan kemampuan sang penafsir dalam memberi makna maupun dalam memperluas isi puisi yang dibacanya itu.  Puisi yang baik, sebagaimana dikatakan Rendra bukan menampilkan makna dari apa yang tersurat, melainkan dari apa yang tersirat. “Hakikat dari dunia reakaan adalah itu,” kata Rendra dalam sebuah kesempatan di Leiden pada tahun 1999 lalu, sekalipun puisi yang dibacanya itu ditulis dengan kalimat yang ringkas. Di bawah ini, sejumlah puisi yang kita baca itu ditulis dengan kalimat yang ringkas.

 

Varel Octavian Nugraha

 

IBU

Kaulah panutanku

Penerang hidup

Bawa ilmu

Sempurna

 

Varell dalam antologi ini menulis 15 buah sonian dengan tema yang cukup beragam. Salah satu sonian yang ditulisnya, yang diberi judul Ibu itu cukup menarik untuk diapresiasi – karena ia berhasil menghayati sosok ibu, yang memberi jalan terang bagi anak-anaknya dalam mengarungi hidup dan kehidupan yang penuh dengan kegelapan dan benturan nilai-nilai.

 

Pada sonian lainnya yang diberi judul Wanitaku bisa kita rasakan munculnya gairah cinta yang mendalam, yang semua itu tidak mengarah kepada erotisme. Melainkan mengarah kepada hangatnya hidup dan kehidupan itu sendiri. Wanita dengan demikian pada sonian tersebut bukan sosok wanita itu sendiri – tapi semacam rujukan sumber nilai-nilai, yang bisa menghangatkan batin si aku lirik di kala sepi. Sonian yang ditulis Varell dengan lembut itu berbunyi seperti di bawah ini:

 

WANITAKU

Wajahmu terbayang

Didalam angan

Malam sepi

Teringat

 

Tak kalah menarik dengan Varell, PUTRI NURUL SEKARTAJI menulis dunia gelap, yang pada satu sisi bisa bikin sesak nafas manusia. Ia mengangkat tema neraka dengan judul Nerakadalam pengertian yang luas. Bila membaca sonian di bawah ini – kita seakan-akan lupa, bahwa yang nulis adalah pelajar. Penghayatannya sungguh dewasa. Kita baca sonian yang ditulis Putri Nurul Sekartaji di bawah ini:

 

NERAKA

#1

Malam gelap sunyi

Terasa Panas

Amarah

Meledak

#2

Bisingan Mengiring

Api Gejolak

Mengobarkan

Neraka

 

Sementara itu dalam sonian yang lain Putri Nurul Sekartaji antara lain menulis:

 

PERMATA YANG HILANG

#1

Cahaya permata

Silaukan mata

Memang cantik

Memancar

#2

Dia telah hilang

Ditelan bumi

Sudah pergi

Menjauh

 

Sonian  Neraka dan Permata yang Hilang secara tidak langsung mempunyai benang merah yang menarik untuk direnungkan.  Cahaya permata yang dimaksud dalam sonian tersebut tentunya bukan semata-mata cahaya permata, tetapi sesuatu yang berharga. Ia hilang disebabkan sesuatu, yang pada ujungnya bisa menjelma jadi neraka. Dalam kaitan ini jadi ingat Jean Paul Sartre yang bilang dalam lakon Pintu Tetutup, neraka adalah orang lain.

 

Penulis sonian lainnya yang layak untuk diapresiasi dalam antologi ini adalah JERICHO LINALDI. Ia antara lain menulis sebuah sonian di bawah ini:

 

HARI BARU

Mentari berkokok

Aku terbangun

Melihatmu

Bersinar

 

 

Ungkapan mentari berkokok sungguh mengejutkan. Mentari di situ seakan-akan serupa dengan identitas ayam jago. Jika membaca semua sonian yang ditampilkan sebagai contoh yang dibahas secara sekilas, menunjukkan bahwa kemampuan masing-masing penyair dalam menulis sungguh mengagumkan. Saya yakin pada suatu hari, jika mereka setia menulis puisi, apapun jenisnya – akan jadi penyair yang tangguh dengan bakat yang besar. Kemampuannya dalam mengolah imaji, simbol, metafor apapun namanya dalam menulis puisi cukup mahir. Pada sisi ini David Darmawan Siswandi sebagai guru telah berhasil mengajarkan dasar-dasar penulisan puisi dalam pengertian yang luas.

 

SENJA

#1)

Dia mulai turun

Langit memerah

Tabur cinta

Abadi

#2)

Memandangnya turun

Di pesisir pantai

Sangat tenang

Batinku

 

Dalam sonian di atas matahari digambarkan dengan dia, yang mulai turun. Kemampuan Jericho dalam memainkan gaya bahasa personifikasi cukup epetif. Dengan demikian sonian yang ditulisnya jadi segar. Gambaran tentang senja bisa kita tangkap dengan indahnya. Fungsi persofikasi dalam soniannya ini, benar-benar membuat apa yang kita baca itu: tergambar secara visual dalam benak kita, akan pantai yang tenang; sehingga rasa tentram terasa di batin.

 

Penulis sonian lainnya, yang tak kalah menarik dengan tiga penulis sonian tersebut di atas adalah AURELL VENE ALTHEA. Ia membuka sonian yang ditulisnya dengan sonian seperti di bawah ini:

 

MENUNGGU

Menghitung hariku

Menunggu salju

Jendelamu

Berdebu

 

Bila kita berkaca pada kenyataan hidup di negeri yang kita cintai ini, sangat tidak mungkin ada salju. Namun demikian diksi Menghitung hariku | Menunggu salju bisa kita mengerti maknanya pada arah kesia-siaan dalam sebuah menantian. Hal ini dipertegas oleh suasana dari kesia-siaan dalam penantian itu dengan: Jendelamu | Berdebu.

 

Sehubungan dengan itu pula tak aneh bila pada sonian selanjutnya menemukan apa yang diharapnya tumbuh di dada, dari penantian yang sia-sia selama itu, yakni cinta. Dan cinta yang dimaksud tentunya bukanlah cinta yang fana, tetapi cinta abadi. Cinta yang turun dari surga sana. Atau cinta yang mempu menumbuhkan suasana sorgawi.  Seperti di bawah ini Aurell menulisnya:

 

CINTA

Cerita surgawi

malaikat kasih

Penuh cinta

Harapan

 

Pelajar lainnya ARDY SETIA, tak hanya menarik dalam menulis sonian dengan empat pelajar tersebut di atas. Kita baca sebuah sonian yang ditulisnya di bawah ini:

 

SAHABAT
#1
Setitikcahaya
Penyejukhati
Bagaibintang
Benderang
#2
Saat suka duka
Membajak hidup
Berputarlah
Perisai

 

Dalam sonian di atas Andy memanfaatkan gaya bahasa simile tentang sahabatnya yang diandaikan bercahaya bagai bintang. Hal ini membuktikan, bahwa dalam sonian yang serba ringkas dan terbatas ini – gaya bahasa bisa dimanfaatkan untuk mengekspresikan sebuah pengalaman yang sublim. Dalam sonian lainnya, Ardy menulis:

 

RAJA NIRWANA
Alunan kecapi
Lagu pujian
Memujamu
Yang Agung

 

Sonian di atas jelas syarat dengan ungkapan religius. Raja Nirwana yang dimaksudnya, siapa lagi kalau bukan Tuhan Yang Maha Esa yang menguasai segala hidup dan kehidupan di dunia dan diseluruh alam raya, dan alam apa pun itu. Sungguh menarik akan apa yang direnungkannya. Sementara itu, pelajar lainnya ERIKA ANJANI menulis :

 

IBU

Kau mengajarkanku

akan adanya

kasih sayang

yang kekal

 

Sebuah sonian yang indah, mengekspresikan sumber kasih saya.Tanpa ibu kita tidak tidak mungkin hidup, dan besar seperti sekarang ini. Ibulah yang mengajarkan kita kasih sayang itu – bahkan sejak kita dalam kandungan, sudah diberi wejangan. Dinyanyikan, dan tentu saja didoakan. Dalam sonian lainnya Erika Anjani menulis:

 

Tuhan

Temani diriku

Di saat aku

sedang rapuh

dan sedih

 

Bahwa Tuhan dalam sonian di atas diekspresikan sebagai teman hidup di kala sedih dan hati rapuh. Memang dalam kondisi demikian kita selalu bernatung kepada Tuhan, namun demikian sesungguhnya Tuhan menemani kita tidak dalam kondisi  (jiwa) yang demikian saja. Dalam keadaan suka dan ceria pun Tuhan selalu menemani kita.

 

Pelajar lainnya DEVIANTI KUSTIAWAN, tak hanya menarik dalam menulis sonian dengan dengan yang lainnya. Kita baca sebuah sonian yang ditulisnya di bawah ini:

 

AYAH
Tetes keringatmu
Dikelam senja
Pahlawanku
Setia

 

Dalam sonian di atas Devianti memanfaatkan gaya bahasa indah tentang kebanggaannya terhadap sang ayah yang diandaikan Pahlawanku. Hal ini membuktikan, bahwa dalam sonian yang serba ringkas dan terbatas ini – gaya bahasa bisa dimanfaatkan untuk mengekspresikan sebuah pengalaman yang sublim.

 

THEREZA MAGDALENA pun tak kalah menariknya mengapresiasikan kata, seperti soniannya di bawah ini:

 

SEPATU
Selalu berdua
Takkan bersatu
Hanya akan
Bersama

 

Bahasa yang sangat sederhana namun makna yang dituangkannya sangat dalam, persahabatan yang diibaratkan sepasang sepatu yang selalu beriringan. Sungguh sangat memikat makna yang terkandung didalamnya. Sepuah apresiasi yang sangat cemerlang.

 

 

Terakhir kita baca sejumlah sonian yang ditulis oleh sang guru, DAVID DARMAWAN SISWANDI, sang editor sekaligus yang pengawal dalam buku ini. Sebuah sonian yang ditulisnya di bawah ini,  menarik untuk disimak:

 

Lupa

#1

Pada pencarian
seorang lupa
menanggalkan
dirinya

#2
Tak lagi terdengar
suara petir
yang menjawab
gelisah

#3
Seseorang Lupa
memanggil mimpi
yang terserak
di hening

#4
Mencari alasan
penuhi arti
ruang hening
terabai

 

 

Lupa, itulah pokok soal manusia yang sering datang berulang menyerbu dirinya. Lupa akan ingatan masa lalu yang buruk, adalah neraka bagi masa kini. Karena itu tak aneh bila dalam sonian ke empat, David menulis: Mencari alasan/ penuh arti/ namun sayangnya: ruang hening/ terabai. Ruang hening dalam konteks yang demikian yang dimaksud dalam soniannya itu, bisa ditafsir sebagai ruang kontemplasi.  Dalam dunia yang penuh dengan benturan nilai-nilai ini; kita kerap abai terhadap dunia yang demikian.

 

Paling tidak, demikianlah secara sekilas pengantar ini dibuat. Semuanya cukup menyenangkan dan menyegarkan. Sonian yang mereka tulis penuh makna, sekalipun kalimat demi kalimat yang ditulisnya cukup ringkas. Hal ini membuktikan, bahwa seringkas apa pun puisi di tulis, di tangan seorang penyair yang piawai dalam mengolah pengalaman puitik akan melahirkan makna yang meluas.***

20 Desember 2015

 

Bumi Asri Mekar Rahayu

 

 

SONI Farid Maulana  lahir di Tasikmalaya, pada 19 Februari 1962. Kumpulan puisinya yang terbaru Arus Pagi (Kosa Kata Kita, 2015) Meraih Buku Utama – Anugerah Puisi: Hari Puisi Indonesia 2015. Tiga buku lainnya meraih Lima Besar Khatulistiwa Literary Award, masing-masing untuk buku Sehampar Kabut (2005-2006), Angsana (2006-2007), dan Telapak Air (2012-2013). Pada  1990 mengikuti  South East Asian Writers Conference, di Queezon City, Filipina. Pada 1999 mengikuti Festival de Winternachter, di Den Haag, Belanda. Pada 2002 mengikuti Puisi Intertanional Indonesia di Bandung. Pada 2005 mengikuti Internatioan Literary Biennale Living Together di Bandung.  Pada November-Desember 2013 bersama Heni Hendrayani baca puisi di INALCO – Paris, Perancis. Pada 2014 Temu Penyair Dunia –Numera, di Kuala Lumpur Malaysia,  Pada 2015 mengikuti Temu Sastra Indonesia-Malaysia di Bandung, Forum Puisi Nubari-Numera di Kuala Lumpur, Malaysia  Selain itu, Soni juga dikenal sebagai penggagas sekaligus pelopor puisi sonian, yang kini menyebar ke berbagai negara.***

bottom of page