top of page

Ombak Biru Semenanjung
Silaturahmi Penyair Tiga Negara

Untuk pemesanan buku ini kontak Bpk. Kurniawan Junaedhy

 

ALAMDULILLAH, memasuki satu satu tahun laman Sonian di Jejaring Sosial Facebook disambut banyak pihak, ketika kami, admin, di laman ini berniat menerbitkan antologi puisi 1000 sonian yang ditulis oleh para sonian dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sambutan mesra ini di luar dugaan. Hingga batas akhir pengumuman kami menerima 1020 sonian. Di luar ini, masih banyak yang ingin ikut. Insya Allah pada terbitan ke tiga di tahun mendatang, jika Allah SWT mengizinkan, bisa terbit lebih banyak lagi. Ini merupakan buku pertama, silaturahmi penyair tiga negara dalam sonian.

 

Berkaitan dengan itu, tumbuh dan berkembangnya puisi di kawasan Semenanjung, dalam hal ini di kawasan Negara Serumpun dewasa ini, tidak lepas dari persentuhannya dengan puisi yang tumbuh dan berkembang di berbagai negara, baik yang ada di Timur maupun di Barat. Di Indonesia sendiri, tentu saja ada puisi puisi tradisional. puisi yang demikian itu antara lain diberi nama pantun, talibun, gurindam dan berbagai jenis puisi tradisional lainnya. Hal yang sama, tentu tumbuh juga di Malaysia dan Singapura, yang berakar Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia yang kini tumbuh berkembang pesat, berakar pada Bahasa Melayu.

 

Puisi tradisional yang saya sebutkan tadi punya pola tuang tertentu dalam penulisannya. Demikian juga dalam puisi tradisional Sunda, ada yang disebut guguritan atau dangding. Masing-masing dari puisi tradisional Sunda ini – sebagaimana puisi tradisional yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, terikat oleh bilangan suku kata tertentu dengan guru lagu, dan tema tertentu pula, yang satu sama lainnya berbeda. Misal dangding asmarandana berbeda dengan dangding kinanti. Perbedaan tersebut bukan hanya pada tema, tetapi juga pada jumlah suku kata perlarik yang ditulis oleh para penyairnya. Dangding asmarandana yang isinya mengungkap cinta kasih, atau persoalan-persoalan asmara, ditulis dalam 7 larik. Masing-masing terdiri larik terdiri dari 8-i, 8-a, 8-e atau o, 8-a, 7-a, 8-u, dan 8-a suku kata. Sedangkan danding kinanti, terdiri dari 6 larik. Masing-masing larik terdiri dari 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, dan 8-i suku kata. Isi dari larik tersebut biasanya menggambarkan rasa khawatir, penantian, dan rasa sayang.

 

Sekaitan dengan itu, puisi sonian tidak ditulis dari tradisi semacam itu, walau dalam penulisannya punya pola tuang dengan suku kata tertentu pula. Puisi sonian adalah puisi sepanjang empat baris yang saya kreasi dengan pola 6-5-4-3 suku kata perlarik. Semakin ke bawah seorang penyair menulis sonian, maka puisi tersebut semakin sulit ditulis, karena kata-kata yang dibutuhkan semakin sedikit jumlahnya. Hal ini dimaksudkan, agar puisi yang ditulis dalam bentuk ini: -- tidak pecah, melainkan kian fokus pada pengalaman batin macam apa yang ingin diekpresikan oleh para penyairnya.

 

Jika diibaratkan dengan mata panah yang terbalik, maka jelas sudah, bahwa bahwa pola tuang puisi sonian kian bawah kian runcing adanya. Walau demikian, meski nyaris sama pendeknya dengan haiku, sonian bukan haiku yang ditulis dengan pola 5-7-5 suku kata perlarik. Haiku yang kini menyebar ke berbagai belahan dunia, dikreasi oleh penyair Jepang kenamaan pada zamannya, antara lain ditulis oleh penyair Bāsho. Sehubungan dengan itu, sonian bukan jenis puisi yang meluap-luap mengumbar emosi. Sonian adalah puisi yang menahan dan mengelola emosi dalam bentuk ungkap yang ringkas, yang ingin menjangkau makna seluas mungkin. Dalam daya ungkap yang ditulis para penyairnya, sonian bisa imajis dan bahkan simbolis. Hal itu sangat bergantung kepada kemampuan para penyairnya dalam menulis puisi.

 

Untuk mewujudkan pengalaman batin macam apa, yang ingin diekspresikan oleh para penyair dalam menulis sonian, maka hal itu menuntut para penyair untuk peka terhadap setiap makna kata yang hendak ditulisnya, sehingga apa yang ingin diungkapnya itu bisa terwujud dengan jelas. Dengan demikian maka jelas sudah bahwa kejelian dalam memilih setiap kata (diksi) yang hendak dipakai sebagai kendaraan utama dalam menulis sonian sangat dibutuhkan. Apa sebab? Karena yang disebut semua itu merupakan mekanisme psikis, dalam melihat, melukis, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu dalam struktur kesadaran yang menghasilkan sebuah citra (image) pada otak. Simbol dan metafor pada sisi tertentu lahir dari kondisi batin semacam itu.

 

Ditulisnya puisi dengan pola tuang 6-5-4-3 suku kata perlarik, yang saya sebut sonian itu dimaksudkan antara lain untuk meninggikan harkat dan derajat manusia, dan malah bukan untuk merendahkannya dengan mengangkat tema porno, cawokah, dan cabul. Untuk itu, sonian bisa diisi dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai agama yang dianut oleh para penyair di negeri mana pun. Selain itu, tentu saja bisa juga diisi dengan nilai-nilai budaya setempat, dan nilai-nilai lainnya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan religiositas, yang berbasis pada agama, dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Renungan terhadap alam, dan sebagainya, yang tidak bertentangan dengan hukum mana pun yang berlaku di muka bumi, bisa ditulis dalam sonian. Dengan demikian maka jelas, sonian sangat berpihak kepada etika, moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai religious, termasuk persoalan-persoalan hukum di dalamnya. Paling tidak, demikian dasar-dasar penulisan sonian dituliskan. Ini tidak berarti bahwa puisi di luar sonian, tidak mengangkat hal yang demikian. Yang membedakan hanya pada pola tuang, yakni berbilang suku kata dan bebas dari itu.

 

Lalu mengapa saya menulis puisi sonian? Ini terjadi karena saya ingin di negeri ini punya puisi pendek sejenis haiku. Namun demikian kembali saya tegaskan bahwa sonian bukan haiku. Karena itu tak ada kigo dan kireji di dalamnya. Jika pada masa awal pertumbuhannya haiku berbasis pada Zen Budhisme, maka sonian berbasis pada nilai-nilai Islami. Dalam berkembangan lebih lanjut, bisa berbasis pada agama apa saja, nilai budaya apa saja. Toh dalam penulisan haiku yang kini kian bebas itu, ia bisa juga diisi oleh nilai-nilai Islami, dengan nilai-nilai budaya setempat. Lalu kenapa diberi nama sonian, karena saya sukar cari nama. Saya saat itu, saya ingat Aristotelian. Itu alasannya.

 

Lepas dari itu Ombak Biru Semenanjung yang tengah Anda baca ini, menampung berbagai tema yang ditulis oleh masing-masing penyair. Ada tema religius, cinta, sosial, politik, dan bahkan hukum. Masing-masing tema ditulis secara sungguh-sungguh. Jika diresapi makna yang dikandung oleh puisi alit ini, tidaklah dangkal. Akan tetapi meluas dan mendalam. Jadi, siapa bilang menulis puisi alit, dalam hal ini sonian tidak punya makna yang mendalam?

 

Satu hal yang tidak pernah saya duga adalah – ketika laman sonian diluncurkan, caci maki datang menderas ditujukan ke laman ini, dan khususnya ke saya. Dituduhnya saya telah merusak perkembangan dan pertumbuhan puisi, yang tumbuh di berbagai negara. Namun demikian, di balik semua itu – tidak saya duga Saudara Eunos Asah penyair dari Temasek Singapura – tertarik dengan sonian yang saya tulis, dan kemudian mendirikan lama sonian secara khusus, yang diberi nama Eunosasah - Sonian Temasik - PUISI GENRE BARU. Demikian juga Saudara Haris, yang juga dari Singapura, penyair yang tengah naik daun ini, membuka pula laman secara khusus, Exclusive Sonians. Laman lainnya adalah sonian pelajar.

 

Pada titik ini saya ingin menghaturkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dan turut serta membesarkan laman sonian, khususnya kepada sahabat saya Ewith Bahar, Bintang Katonia, Kurniawan Junaedhie, David Darmawan Siswandi dan Ade Saskia Darmawan yang tiada lelah mengembangkan sonian dengan sonigraf, sehingga laman sonian jadi ramai dengan gambar. Sekaitan dengan itu pula saya haturkan kepada para admin laman sonian, baik yang ada di Indonesia, Singapura, dan Malaysia hingga terwujud antologi ini, yang Insya Allah di kemudian hari memiliki nilai sejarah tersendiri dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi di dunia. Terakhir, tak lupa saya ucapkan kepada Nia Samsihono yang tiada lelah membicarakan sonian di mana-mana. Juga kepada Beni Setia dan Hewan FR yang membuka ruang diskusi di HU Pikiran Rakyat, hingga sonian bisa dikenal seperti sekarang ini.***

 

Bandung, 1 Februari 2016

Soni Farid Maulana

bottom of page