top of page

Sonian dan Puisi Indonesia Kini



Perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia kini tidak lepas dari persentuhannya dengan puisi yang tumbuh di berbagai negara, baik yang ada di Timur maupun di Barat sana. Di Indonesia sendiri, tentu saja ada yang disebut puisi tradisional, mulai dari pantun, talibun, gurindam dan berbagai jenis puisi tradisional lainnya dengan pola tuang tertentu. Dalam puisi tradisional Sunda, apa yang disebut guguritan atau dangding terikat oleh bilangan suku kata tertentu dengan tema tertentu pula, yang satu sama lainnya berbeda.


Misal dangding asmarandana berbeda dengan dangding kinanti. Perbedaan tersebut bukan hanya pada tema, tetapi juga pada jumlah suku kata perlarik yang ditulis oleh para penyairnya. Dangding asmarandana yang mengungkap cinta kasih, atau persoalan-persoalan asmara yang ditulis terdiri dari 7 larik. Masing-masing terdiri dari 8-i, 8-a, 8-e atau o, 8-a, 7-a, 8-u, dan 8-a suku kata. Sedangkan danding kinanti, terdiri dari 6 larik. Masing-masing larik terdiri dari 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, dan 8-i. Isi dari larik tersebut biasanya menggambarkan rasa khawatir, penantian, dan rasa sayang.


Sekaitan dengan itu, puisi sonian tidak ditulis dari tradisi semacam itu, walau dalam penulisannya punya pola tuang dengan suku kata tertentu pula. Puisi sonian adalah puisi sepanjang empat baris yang saya kreasi dengan pola 6-5-4-3 suku kata perlarik. Semakin bawah seorang penyair menulis sonian, maka semakin sulit, karena kata-kata yang dibutuhkan semakin sedikit jumlahnya. Hal ini dimaksudkan, agar puisi yang ditulis dalam bentuk ini tidak pecah, melainkan kian fokus pada pengalaman batin macam apa yang ingin diekpresikan.


Jika diibaratkan dengan mata panah yang terbalik, maka jelas sudah, bahwa kian bawah kian runcing adanya. Walau demikian, meski nyaris sama pendeknya dengan haiku, sonian bukan haiku yang ditulis dengan pola 5-7-5 suku kata perlariknya, yang dikreasi oleh penyair Jepang kenamaan pada zamannya, seperti Bāsho. Sehubungan dengan itu pula sonian bukan jenis puisi yang meluap-luap mengumbar emosi. Sonian adalah puisi yang menahan dan mengelola emosi dalam bentukan ungkapan yang ringkas, yang ingin menjangkau makna seluas mungkin. Dalam daya ungkap yang ditulis para penyairnya, sonian bisa imajis dan bahkan simbolis. Hal itu sangat bergantung kepada kemampuan para penyairnya dalam menulis puisi.


Untuk mewujudkan pengalaman batin macam apa yang ingin diekspresikan oleh para penyairnya dalam menulis sonian, maka menuntut para penyairnya peka terhadap setiap makna kata yang hendak dituliskan, sehingga apa yang ingin diungkap terwujud dengan jelas. Dengan demikian maka jelas bahwa kejelian dalam memilih setiap kata (diksi) yang hendak dipakai sebagai kendaraan utama dalam menulis puisi, sonian sangat dibutuhkan.


Apa sebab? Karena yang disebut semua itu merupakan mekanisme psikis , dalam melihat, melukis, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu dalam struktur kesadaran yang menghasilkan sebuah citra (image) pada otak. Simbol dan metafor pada sisi tertentu lahir dari kondisi yang demikian.

Ditulisnya puisi dengan pola tuang 6-5-4-3 suku kata perlarik, yang saya sebut sonian itu dimaksudkan antara lain untuk meninggikan harkat dan derajat manusia, dan malah bukan merendahkannya dengan mengangkat tema porno, cawokah, dan cabul. Untuk itu, sonian bisa diisi dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai agama yang dianut oleh para penyairnya, nilai-nilai budaya setempat, dan nilai-nilai lainnya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan religiositas yang berbasis pada agama. Renungan terhadap alam, dan sebagainya, yang tidak bertentangan dengan hukum mana pun yang berlaku di muka bumi, bisa ditulis dalam sonian. Dengan demikian maka jelas, sonian sangat berpihak kepada etika, moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai religious, termasuk persoalan-persoalan hukum di dalamnya. Paling tidak, demikian dasar-dasar penulisan sonian dituliskan.


Lalu mengapa saya menulis puisi sonian? Ini terjadi karena saya ingin di negeri ini punya puisi pendek sejenis haiku. Namun demikian kembali saya tegaskan bahwa sonian bukan haiku. Jika pada masa awal pertumbuhannya haiku berbasis pada Zen Budhisme, maka sonian berbasis pada nilai-nilai Islami. Dalam berkembangan lebih lanjut, bisa berbasis pada agama apa saja. Toh dalam penulisan haiku yang bebas, ia bisa juga diisi oleh nilai-nilai Islami. (Soni Farid Maulana).***


Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page