top of page

Puisi Sonian: Antara Tafsir Filosofis, Terobosan Literasi, dan Kilau Batu Akik


Oleh Herwan FR, Penyair dan novelis.

Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten

DALAM paparan tulisan Beni Setia, Perihal Puisi Sonian (HU. Pikiran Rakyat, 14/3/2015)—yang paling menarik adalah--soal terobosan literasi Puisi Sonian. Terobosan literasi seperti apa? Maka saya ingin mencoba menyambung tulisan Beni dengan beberapa tafsir — ***


NAMUN, sebelum saya menafsir Puisi Sonian, saya akan menafsir batu akik. Di tengah mahalnya harga batu luar, seperti ruby, safir, zamrud,dan di tengah kekaguman dunia tentang tiga jenis batu mulia itu, rupanya Tuhan berkehendak lain dengan batu Indonesia. Orang kini yakin dan percaya pada harga dan kulitas batu Indonesia. Lihat, betapa batu bacan doko dari Sulawesi harganya melangit. Lalu tumbuh keyakinan —bahwa ternyata batu produk tanah air bisa bersaing dengan batu luar! Tafsir Filosofis dan Terobosan Literasi Tafsir pertama saya terhadap kehadiran Puisi Sonian, mirip dengan tafsir batu akik di atas. Tumbuh keyakinan dalam diri Soni Farid Maulana, bahwa produk sendiri bisa "bersaing" kualitas dengan produk Jepang. Puisi Sonian hasil kreasinya ia tampilkan dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi, di hadapan haiku yang sedang melangit. Ketika semua bangsa terpukau dengan haiku, Soni serius mencipta Sonian. Ia seolah ingin berkata dengan seluruh karakter ke-Indonesiaannya, dengan seluruh semangat kebangsaannya: bahwa inilah diriku! Maka Puisi Sonian bangkit memberikan "perlawanan kreatif" terhadap haiku Basho dan Shiki. Jejaring facebook pun ramai dengan Puisi Sonian. Pernyataan Soni Farid Maulana, yang tidak berani mengatakan Puisi Sonian sama dengan haiku, seolah menjadi penegas, bahwa dirinya benar-benar menghadirkan "perlawanan kreatif" secara "keras" terhadap haiku.


Perbedaan karakter yang diciptakan Soni dalam Puisi Sonian, menggambarkan tafsir suatu “pemberontakan” terhadap hasil budaya klasik Jepang yang hadir di Indonesia itu. Puisi Sonian lahir dengan jumlah baris 4, dengan susunan 6-5-4-3 (18 suku kata), berbeda 1 baris dengan 5-7-5 nya haiku. Perbedaan satu baris dari haiku yang hanya tiga baris-seolah membuktikan “pemberontakan” Soni terhadap “gegar” haiku di dunia, dengan segala karakternya, perbedaan spiritual, karakter, tujuan dengan memfokuskan kata ke makna, dan perbedaan tipografi yang mengerucut lancip--cukup diwakili dengan perbedaan satu baris itu. Haiku, puisi pendek klasik Jepang, yang perkembangannya dimulai dari bentuk --renga, haikai, hokku, sampai ke haiku —kini “didobrak” oleh Puisi Sonian muncul dengan membawa nuansa "politis” perlawanan kreativitas, terhadap hasil budaya klasik Jepang itu. Tafsir filosofinya, bisa jadi bahwa dalam keberadaan manusia, dalam eksistensi keberadaannya haruslah fokus pada tujuan dan makna hidup. Untuk apa dan hendak kemana manusia hidup. Dengan kehidupan yang menerapkan konsep konsentrasi atau fokus ini, maka tujuan dan makna hidup akan tercapai, dan hidup tidak sia-sia. Tapi, jika mau bicara tafsir haiku, saya juga punya tafsir tersendiri sebagai pengamat. Angka 17 suku kata, dalam haiku sesungguhnya angka yang cocok untuk umat Islam, karena secara kebetulan, rakaat shalat lima waktu jumlahnya 17. Tapi mengapa Zen-Budhisme itu menggunakan angka itu? Apakah Zen sebenarnya mengakui keberadaan Islam dalam rohnya? Tipografi haiku yang melebar di tengah dengan konsep suku kata 5-7-5, dengan bentuk baris rata di awal baris dan rata pula di akhir baris—sedangkan melebar di tengah baris pertama dan ketiga, bisa ditafsir bahwa hidup pada awalnya datar biasa, lalu ada konflik yang melebar, dan kemudian ada penyelesaian—kembali ke kedataran hidup, landai, bahkan berhenti dengan kematian. Ini tentu tafsir filosofi saya pribadi sebagai pembaca dan pengamat.


Kini Puisi Sonian telah menjadi, dan berdiri sendiri sebagai hasil pergesekan, pengolahan, pendakian, dan mungkin merupakan satu titik kulminasi SFM dalam mengolah keras estetika puisi-puisinya. Puisi Sonian lebih bisa dipandang sebagai salah satu dari lembaran catatan proses kreatif perjalanan kepenyairan SFM. Catatan ini bisa dinilai berdasar dua buku yang terbit di tahun 2015, yakni buku puisi Arus Pagi dan Setebas Malam. Bila kemudian kita susur puisi-puisi dalam Arus Pagi berbeda dengan puisi-puisi dalam Setebas Malam. Arus Pagi menghadirkan puisi biasa (normal tanpa batasan jumlah larik 6-5-4-3), sedangkan puisi dalam Setebas Malam berisi Puisi Sonian. Dua buku itu merupakan hasil proses kreatif panjang SFM tahun 1996-2015. Rentang pembagiannya: Arus Pagi (1996-2014) sedangkan Setebas Malam (1999-2015)—gabungan dengan puisi-puisi Heni Hendrayani (Saat Malam: 2013-2015).


Terobosan Literasi Menyambung kalimat akhir Beni Setia, Puisi Sonian, bisa menjadi terobosan literasi dalam harapan kejayaan jagat sastra Indonesia. Maka memang, perkembangan literasi perpuisian Indonesia, harus ditandai dengan penciptaan tesis-tesis baru, disertasi baru, gagasan-gagasan baru, baik dari gagasan yang sudah ada ataupun yang belum ada. Baik berasal dari dalam dan luar Indonesia. Dunia perpuisian membutuhkan “mata air kreativitas”. Dan percayalah bahwa semakin kreativitas digali, akan semakin dalam dan besar sumber mata air kreasi itu. Bahwa kemudian yang keluar ke permukaannya adalah "batu, lumpur, sampah, atau air bening"—itu menjadi nomor 13.


Sebagaimana juga, batu semakin digosok, semakin bercahaya. Hal terpenting adalah menggali dan menggosok. Juga di sekolah, guru harus menggali dan menggosok kreativitas. Menciptakan model pengajaran puisi. Jadi puisi tak lagi menjadi momok mengerikan bagi siswa. Puisi Sonian diharapkan benar-benar akan terbukti dalam “terobosan” literasi menulis puisi. Setelah sekian lama--perbincangan seputar puisi-puisi panjang yang terlalu mengobral kata-kata sambung, kata imbuhan dan kata depan, dan lainnya, sehingga puisi terkesan bertumpuk dan bertabrakan. Puisi Sonian lahir sebagai suatu “tawaran” sebagai teknik menulis puisi dengan cara memadatkan kata-kata. Tapi ia bukan, dan tidak menjadi suatu “keharusan” bagi para penyair yang sudah lahir dan hadir dan tercatat, yang telah memiliki karakter kepenyairan. Bukan pula wajib untuk suatu pemodelan wajib bagi guru di sekolah, sebagaimana pemodelan wajibnya kurikulum yang berubah-ubah dalam dunia pendidikan. Puisi Sonian bukan merupakan suatu rumusan mati bagi kalangan pelajar yang ingin belajar menulis puisi dengan cara pemadatan kata.


Puisi Sonian kelak akan berkembang, atau “lesap” setelah teruji dan ternilai oleh waktu yang panjang. Waktu adalah penilai paling ampuh dan tangguh, sebagaimana haiku ala Jepang dan Pantun ala Melayu, yang telah diuji dan dinilai oleh waktu.***

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page