top of page

Mengelola Pengalaman Merangkai Sebuah Makna



SEORANG penyair ketika menulis sebuah puisi, sajak, apa pun namanya itu, tidak hanya mengungkapkan hubungan dirinya dengan Tuhan yang diimaninya, tetapi juga mengungkapkan hubungan dirinya dengan alam sekitar, dan kebudayaan yang berdenyut dalam dirinya. Berkaitan dengan itu, puisi – mempunyai arti penting bagi seorang penyair – karena ia pada satu sisi – bisa menjelma ruang untuk katarsis. Penyair Saini KM pernah mengatakan hal seperti ini, dalam berbagai ulasannya mengenai puisi. Katarsis pada satu sisi bisa dimaknai sebagai pelepasan dari kesumpekan hidup, untuk kemudian mendapatkan pencerahan.


Nah, sekaitan dengan itu, dalam bahasa sonian kali ini, kita akan bersua dengan sejumlah sonian yang ditulis oleh Denis Hikmawati, Ahmadi Syarif, Farick Ziat, Nia Samsihono, dan Emi Suy Hariyanto, Sedangkan karya yang lainnya, harap sabar untuk menunggu giliran diulas. Semoga saya punya tenaga dan panjang umur untuk melakukan hal itu.


Baiklah. Denis Hilmawati dengan sonian yang diberi judul Sesuatu, berupaya mengungkapkan pengalaman batinnya seputar cinta, seputar perasaan yang bergetar dalam hatinya, yang menangkap pesan lewat pencaran mata lawan jenisnya. Secara esensial begitu, isi sonian tersebut, dan tentu saja bisa ditafsir lain. Mekanisme psikis yang muncul dalam puisinya, mampu melukiskan hal itu. Apa sebab? Karena Denis menguasai sudut pengalaman macam apa yang harus ia sajikan dalam puisi yang serba ringkas ini. Untuk itu, mari kit abaca sonian yang ditulisnya di bawah ini:


Denis Hillmawati


SESUATU


kilau lirik mata

tembakkan pesan

nafas cinta

membara

dh2015



Mekanisme psikis yang mampu melukiskan , membayangkan, dan member gambaran pada otak tentang sebuah pengalaman yang harus dituliskan itu, juga berhasil diungkap Ahmadi Syarif tentang cinta dan pengkhianatan yang maknanya meluas secara spritual. Dalam sonian yang ditulis Ahmadi Syarif kali ini, jika pembaca tidak memahami apa dan bagaimana sosok Sengkuni yang diangkat sebagai symbol dalam sonian yang ditulis, maka sonian tersebut tidak bermakna apa-apa. Demikian juga bila tidak memahami ranah sufisme, tarian para darwisy. Jadi dengan melihat perkembangan dan pertumbuhan sonian semacam ini, siapa bilang bahwa dalam puisi yang ringkas, tidak bisa membicarakan sesuatu yang meluas dan punya makna yang mendalam. Dari sisi semacam ini – tampak jelas, bahwa Ahmadi Syarif punya bacaan yang luas, di samping punya kehati-hatian dalam menulis sonian. Kita baca di bawah ini:


Ahmadi Syarif


PERGI SAJA


(i)

tak berarti rindu

dekapmu semu

pergi saja

ke dia


(ii)

jubah yang kau pakai

tarian darwisy

lakon topeng

sengkuni


(iii)

pergilah ke dia

jangan di sini

dari pada

ku muntah


Sementara itu, Farick Ziat, boleh jadi mengungkap sesuatu yang sering kita anggap sepele – di seputar dunia mancing-memancing. Farick Ziat dalam sonian ini berupaya mengungkap tentang harapan dan kesabaran dalam menginginkan sesuatu, yang disimbolisasikan dengan dunia pemancingan. Dalam hal ini, kita sebagai sang pemancing, apapun itu, jika kurang sabar dalam menghadapi situasi semacam itu – yang dihasilkan hanya kekecewaan belaka.


Berkait dengan itu, meminjam apa yang dikatakan oleh penyair Subagio Satrowardojo, bawa terbawa oleh bahasa yang menjadi alat pengucapannya, maka kesusastraan sejaksemula memperlihatkan kecenderungan kepada simbolisme. Kata-kata dengan demikian, tidak saja bersifat denotative, dengan lurus menunjuk kepada pengertian yang tentu batas-batasnya, tetapi juga berwatak konotatif, menyinggung pengalaman-pengalaman batin yang melekat kepada pengertian pokok itu, berupa kenangan, perasaan, suasana hati, harapan atau semangat hidup. Sonian yang ditulis ada dalam konteks semacam itu. Kita baca di bawah ini:


Farick Ziat


SANG PEMANCING


1

lempar mata kail

lupakan gigil

tunggu umpan

dimakan


2

liuk ikan ikan

jauh di dalam

tak terpandang

gelombang


3

ikan umpan kail

bersama gigil

saling simpan

harapan



Demikian juga dengan apa yang ditulis oleh Nia Samsihono. Hujan yang diekspresikan Nia dalam soniannya kali ini – bukan hanya hujan yang sering membawa berkah, akan tetapi juga hujan yang kerap membawa bencana alam. Tapi pertanyaannya kemudian, benar hujan membawa semua bencana itu, bukankah hal itu diakibatkan oleh manusia semata yang rakus terhadap alam. Dalam pengertian lebih lanjut tak mampu mengelola alam secara benar. Hutan main tebang, bukit main bongkar dijadikan tempat istirah dan sebagainya. Nia Samsihono tidak bicara itu memang, tapi secara hermeneutika, bisa ditafsir dari sisi semacam itu. Kita baca soniannya yang mungil itu di bawah ini:

Nia Samsihono

HUJAN


Hujan kali ini

Deras menggenang

Tenggelamlah

Dukaku


Ada benang merah yang sama, apa yang diungkap oleh Nia Samsihono dengan Emi Suy Hariyanto. Keduanya mengangkat hujan sebagai tema, dalam hal ini sebagai pokok tulisan. Namun demikian keduanya punya cara yang berbeda dalam berekspresi. Kita baca sonian yang ditulisnya di bawah ini:


Emi Suy Hariyanto

KOMPLEKSITAS JAKARTA



/1/

sodara sodari

yuk mari kita

gerak darling

yuk bersih


/2/

jangan buang sampah

di sembarangan

mari jaga

yuk sehat


/3/

banjir sana sini

setiap tahun

beton subur

berjamur


/4/

tidak ada lagi

tanah resapan

semen semen

merata


/5/

ibu kota kita

basis ekonomi

penyakitnya

menahun


/6/

rawan kemacetan

oh kebanjiran

kriminal dan

korupsi


Jakarta,

Pebruari 2015


Paling tidak demikianlah dalam ulasan sekilas mengenai sonian yang ditulis lima penyair di atas. Masing-masing berupaya sedemikian rupa dalam mengelola sekaligus mengekspresikan pengalam puitik yang dihayatinya, lewat bahasa yang dikuasainya. Soni Farid Maulana)

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page