top of page

Tiga Sonian dan Kehidupan Kita di Bumi



BUNGA Biji-biji sajak

Tumbuh di dada

Dengan doa

Membunga.


BUNGA Sajak, itulah judul sonian yang ditulis oleh penyair Ewith Bahar. Sekilas sonian tersebut tampak sederhana memang. Namun bila kita hayati maknanya, maka sungguh dalam. Dengan menggunakan pola 6-5-4-3 suku kata perlarik, dalam sonian tersebut – sesungguhnya Ewith bukan hanya ingin bicara soal sajak yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan kita, akan tetapi juga ingin bicara soal sosok penyair itu sendiri – yang dalam surat Para Penyair (Asy Syu’ara), Allah SWT dengan tegas berfirman tentang kedudukan para penyair yang suka mengembara di lembah-lembah yang gelap. Pendeknya suka membicarakan sesuatu, tetapi tidak melakukan apa yang dikerjakannya, kecuali para penyair yang beriman, yang takut dan tunduk kepada Allah SWT semata.


Dengan demikian maka jelas, lewat sonian tersebut, Ewith hendak mengungkapkan akan pentingnya menulis sajak agar jadi bunga yang indah di hati para apresiatornya. Sajak yang dimaksud adalah sajak yang berguna bagi kehidupan itu sendiri, yakni sajak yang bermanfaat, yang bias memberikan pencerahan bagi kehidupan spiritual para apresiatornya. Sekaitan dengan itu, tampak jelas bahwa Ewith sudah mengerti apa itu sonian – yang makin bawah ditulis makin runcing dank, sehingga tidak pecah dalam mengungkap pengalaman batin macam apa yang ingin diekspresikannya itu.


Sementara itu Bintang Katonia dalam sonian di bawah ini:


TERKIKIS

Tak perlu angkara

Angkat perkara

Tak setara

asmara


Hendak mengungkap akan perlunya kehati-hatian dalam berbicara, atau mengekspresikan sesuatu – yang bila emosi diabur, dan akal sehat dimatikan: hasilnya adalah penyesalan semata. Dalam konteks ini pula kita bias melihat bahwa menulis sajak, apapun bentuknya, sebagaimana pernah dikatakan Rendra di Paris pada tahun 1999 lalu, bahwa menulis saja bukan semata-mata permainan kata, irama, ritme, symbol maupun metafora – akan tetapi juga makna. Dalam titik yang demikian, makna yang dikandung oleh sajak tersebut jelas sudah, bukan makna yang memuaskan otak belaka, tetapi juga harus memuaskan rohani – yang kepentingannya bukan untuk kehidupan masa kini, tetapi juga masa depan kelak. “Meski benar bahwa sajak kita tulis bukan ayat-ayat kitab suci sebagaimana Alquran,” tandas Rendra saat itu.


Lain dengan Ewith Bahar dan Bintang Katonia, Dewi Anjani menulis sonian di bawah ini dengan tema yang lain:


PULAU PENYENGAT

Melayu kurindu

Gurindam dua

belas berikan

Isarah


Sonian di atas menjadi bunyi bila kita ingat Gurindam Dua Belas yang ditulis penyair Raja Ali Haji . Kita tahu bahwa Gurindan Dua Belas adalah sebentuk sajak yang ditulis oleh Raja Ali Haji penuh dengan ajaran hidup. Inilah yang disebut dengan interteks itu. Lewat sonian tersebut kita diingatkan oleh Dewi Anjani akan nilai-nilai lama yang hingga kini masih aktual untuk direnungkan. Lebih jauhnya kearifan lokal alam Melayu yang diekspresikan Raja Ali Haji yang berbasis pada agama Islam itu, selayaknya kita pegang. Apa sebab? Karena hidup itu tak bias bebas merdeka sekehendak nafsu kita. Di alam sana Tuhan Yang Maha Hakim akan memperhitungkan segala perbuatan kita di muka bumi.


Paling tidak, demikian ulasan sekilas dari tiga sonian yang dipublikasikan oleh Ewith Bahar, Bintang Katonia, dan Dewi Anjani di laman ini. Ulasan berikutnya akan muncul lagi pada hari-hari tertentu. Siap menunggukan? Jika ada masukan atau ulasan lainnya dari para sonian, silahkan ditanggapi (Soni Farid Maulana).***

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page